Berikut sedikit penjelasan mengenai Ciri-ciri Sistem Paru-paru dan Metabolisme Berdarah Panas
Anatomi burung sangat berbeda dengan reptil, yang dianggap sebagai nenek
moyangnya. Cara paru-paru burung berfungsi sekali berbeda dengan
paru-paru binatang darat. Binatang darat menghirup dan mengembuskan
napas melalui saluran udara yang sama. Pada burung, udara memasuki
paru-paru melalui bagian depan, dan keluar dari paru-paru melalui bagian
belakang. “Desain” khas ini secara khusus dibuat untuk burung, yang
membutuhkan oksigen dalam jumlah besar pada saat terbang. Struktur
seperti ini mustahil hasil evolusi dari paru-paru reptil.
Desain Bulu Burung
Teori evolusi, yang menyatakan bahwa burung berevolusi dari reptil,
tidak mampu menjelaskan perbedaan besar antara dua golongan makhluk
hidup tersebut. Dilihat dari ciri-ciri fisik seperti struktur kerangka,
sistem paru-paru dan metabolisme berdarah panas, burung sangat berbeda
dengan reptil. Satu ciri lain yang merupakan dinding pemisah antara
burung dan reptil adalah bulu burung yang benar-benar khas.
Tubuh reptil dipenuhi sisik, sedangkan tubuh burung tertutup bulu.
Karena evolusionis menganggap reptil sebagai nenek moyang burung, mereka
harus mengatakan bahwa bulu burung adalah hasil evolusi dari sisik
reptil. Akan tetapi, tidak ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang profesor fisiologi dan neuro-biologi dari Universitas
Connecticut, A.H. Brush, mengakui kenyataan ini meskipun ia seorang
evolusionis: “Setiap karakteristik dari struktur dan organisasi gen
hingga perkembangan, morfogenesis dan organisasi jaringan sangat berbeda
(pada bulu dan sisik).”1 Di samping itu, Prof. Brush meneliti struktur
protein bulu burung dan menyatakan bahwa protein tersebut “sangat khas
dan tidak dijumpai pada vertebrata lain.” 2
Tidak ada catatan fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi
dari sisik reptil. Sebaliknya seperti di-ungkapkan Prof. Brush,
“Bulu-bulu muncul tiba-tiba dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan
sebagai ciri unik yang membedakan burung.” 3 Di samping itu, pada
reptil tidak ditemukan struktur epidermis yang dirujuk sebagai asal mula
bulu burung.4
Pada tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat kegemparan tentang fosil
suatu spesies yang disebut dinosaurus berbulu, yang dinamakan
Sinosauropteryx. Akan tetapi, pada tahun 1997, terungkap bahwa
fosil-fosil ini tidak berhubungan dengan burung dan bulu mereka bukan
bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita mengamati bulu burung secara saksama, kita
mendapati suatu desain sangat kompleks yang sama sekali tidak dapat
dijelaskan dengan proses evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan
Feduccia, mengatakan bahwa “setiap lembar bulu me-miliki fungsi-fungsi
aerodinamis. Bulu-bulu tersebut sangat ringan, dengan daya angkat yang
membesar pada kecepatan semakin rendah, dan dapat kembali pada posisi
semula dengan sangat mudah”. Selanjutnya ia mengatakan, “Saya
benar-benar tidak mengerti bagaimana sebuah organ yang didesain sempurna
untuk terbang dianggap muncul untuk tujuan lain pada awalnya”.6
Desain bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya. Bahkan,
keindahan sempurna dari bulu merak jantan telah membuatnya “muak”
(perkataannya sendiri). Dalam sebuah suratnya untuk Asa Gray pada
tanggal 3 April 1860, ia mengatakan, "Saya ingat betul ketika pemikiran
tentang mata membuat sekujur tubuh saya demam, tetapi saya telah
melewati itu....” Kemudian diteruskan: “... dan sekarang suatu
bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat saya sangat tidak
nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak, membuat saya muak setiap kali
menatapnya, ”.7
Teori evolusi, yang menyatakan bahwa burung berevolusi dari reptil,
tidak mampu menjelaskan perbedaan besar antara dua golongan makhluk
hi-dup tersebut. Dilihat dari ciri-ciri fisik seperti struktur kerangka,
sistem paru-paru dan metabolisme berdarah panas, burung sangat berbeda
dengan reptil. Satu ciri lain yang merupakan dinding pemisah antara
burung dan reptil adalah bulu burung yang benar-benar khas.
Tubuh reptil dipenuhi sisik, sedangkan tubuh burung tertutup bulu.
Karena evolusionis menganggap reptil sebagai nenek moyang burung, mereka
harus mengatakan bahwa bulu burung adalah hasil evolusi dari sisik
reptil. Akan tetapi, tidak ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang profesor fisiologi dan neuro-biologi dari Universitas
Connecticut, A.H. Brush, mengakui kenyataan ini meskipun ia seorang
evolusionis: “Setiap karakteristik dari struktur dan organisasi gen
hingga perkembangan, morfogenesis dan organisasi jaringan sangat berbeda
(pada bulu dan sisik).”1 Di samping itu, Prof. Brush meneliti struktur
protein bulu burung dan menyatakan bahwa protein tersebut “sangat khas
dan tidak dijumpai pada vertebrata lain.” 2
Tidak ada catatan fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi
dari sisik reptil. Sebaliknya seperti di-ungkapkan Prof. Brush,
“Bulu-bulu muncul tiba-tiba dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan
sebagai ciri unik yang membedakan burung.” 3 Di samping itu, pada
reptil tidak ditemukan struktur epidermis yang dirujuk sebagai asal mula
bulu burung.4
Pada tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat kegemparan tentang fosil
suatu spesies yang disebut dinosaurus berbulu, yang dinamakan
Sinosauropteryx. Akan tetapi, pada tahun 1997, terungkap bahwa
fosil-fosil ini tidak berhubungan dengan burung dan bulu mereka bukan
bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita mengamati bulu burung secara saksama, kita
mendapati suatu desain sangat kompleks yang sama sekali tidak dapat
dijelaskan dengan proses evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan
Feduccia, mengatakan bahwa “setiap lembar bulu memiliki fungsi-fungsi
aerodinamis. Bulu-bulu tersebut sangat ringan, dengan daya angkat yang
membesar pada kecepatan semakin rendah, dan dapat kembali pada posisi
semula dengan sangat mudah”. Selanjutnya ia mengatakan, “Saya
benar-benar tidak mengerti bagaimana sebuah organ yang didesain sempurna
untuk terbang dianggap muncul untuk tujuan lain pada awalnya”.6
Desain bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya. Bahkan,
keindahan sempurna dari bulu merak jantan telah membuatnya “muak”
(perkataannya sendiri). Dalam sebuah suratnya untuk Asa Gray pada
tanggal 3 April 1860, ia mengatakan, "Saya ingat betul ketika pemikiran
tentang mata membuat sekujur tubuh saya demam, tetapi saya telah
melewati itu....” Kemudian diteruskan: “... dan sekarang suatu
bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat saya sangat tidak
nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak, membuat saya muak setiap kali
menatapnya, ”.7
Bagaimana dengan Lalat?
Untuk menguatkan pernyataan bahwa dinosaurus berubah menjadi burung,
evolusionis mengatakan bahwa sejumlah dinosaurus yang mengepakkan kaki
depan untuk berburu lalat telah “menda-patkan sayap dan terbang”
(seperti yang terlihat dalam gambar). Karena teori ini tidak memiliki
landasan ilmiah dan tidak lebih dari sekadar khayalan, timbullah sebuah
kontradiksi logis yang nyata: contoh yang disebutkan evolusionis saat
menjelaskan asal mula kemampuan terbang, yaitu lalat, telah memiliki
kemampuan terbang yang sempurna. Sementara manusia tidak mampu
mengedipkan mata 10 kali per detik, seekor lalat biasa mengepakkan
sayapnya 500 kali per detik. Di samping itu, lalat meng-gerakkan kedua
sayapnya secara serempak. Sedikit saja ada ketidaksesuaian pada getaran
sayap, lalat akan kehilangan keseimbangan; tetapi ini tidak pernah
terjadi.
Evolusionis seharusnya lebih dulu menjelaskan bagaimana lalat
mendapatkan kemampuan terbang yang sempurna. Tetapi mereka justru
mengarang skenario tentang bagaimana makhluk yang jauh lebih canggung
seperti reptil bisa terbang.
Bahkan penciptaan sempurna pada lalat rumah menggugurkan pernyataan
evolusi. Seorang ahli biologi Inggris, Robin Wootton, menulis dalam
artikel berjudul “The Mechanical Design of Fly Wings (Desain Mekanis
pada Sayap Lalat)”:
“Semakin baik kita memahami fungsi sayap serangga, semakin tampak betapa
rumit dan indahnya desain sayap mereka. Strukturnya sejak semula
didesain agar seminimal mungkin mengalami perubahan bentuk; mekanismenya
didesain untuk menggerakkan bagian-bagian komponen sayap secara
terkirakan. Sayap serangga menggabungkan ke-dua hal ini; dengan
menggunakan komponen-komponen berelastisitas berbeda, yang terakit
sempurna agar terjadi perubahan bentuk yang tepat untuk gaya-gaya yang
sesuai, sehingga udara dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Masih
sedikit, kalaupun ada, teknologi yang sebanding dengan mereka.” 1
Sebaliknya, tidak ada satu fosil pun yang dapat membuktikan evolusi
imajiner lalat. Inilah yang dimaksud seorang ahli zoologi terkemuka
Prancis, Pierre Grassé ketika mengatakan “Kita tidak memiliki petunjuk
apa pun tentang asal usul serangga.”2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar